Begini Nasib Perempuan Yahudi yang Meracuni Makanan Nabi - Berbagi Ilmu

Berbagi Ilmu

Begini Nasib Perempuan Yahudi yang Meracuni Makanan Nabi

Diceritakan setelah kekalahan kaum Yahudi dalam Pertempuran Khaibar dan penyerahan mereka, Rasulullah memberikan izin bagi mereka untuk tetap tinggal di tanah kelahiran mereka dan melanjutkan pekerjaan pertanian mereka. Namun, sesuai dengan perjanjian antara kaum Muslim dan Yahudi, sebagian dari hasil pertanian mereka harus diberikan kepada umat Islam. Syekh Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa setelah suasana tenang, Rasulullah menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi bernama Zainab binti Harits, istri Salam bin Masykum, berupa hidangan domba panggang.

Sebelum hidangan itu disajikan, Zainab bertanya kepada para sahabat tentang bagian daging domba yang paling disukai oleh Rasulullah, yang ternyata adalah paha bagian depan. Zainab kemudian menyajikan paha tersebut untuk Rasulullah. Sayangnya, wanita Yahudi yang licik tersebut mencampur semua makanan dengan racun, bahkan bagian yang diberikan kepada Rasulullah dicampuri racun lebih banyak daripada yang lain. Motif di balik pemberian makanan beracun kepada Rasulullah adalah balas dendam atas kematian suaminya dalam Pertempuran Khaibar. Zainab tidak memiliki cara lain untuk membunuh Rasulullah selain dengan memberikan makanan beracun.

Saat Rasulullah duduk bersama sahabat Basyar bin Barra bin Marur, dan makanan disajikan, Rasulullah mengambil paha depan domba yang sudah dipanggang. Meskipun memasukkan sebagian daging ke dalam mulutnya, Rasulullah tidak langsung menelannya. Sebaliknya, Basyar bin Barra malah langsung memakan daging yang tercampur dengan racun. Saat itulah, mukjizat Rasulullah terjadi. Syekh al-Buthi mencatat:

إِنَّ هَذَا الْعَظْمَ لَيُخْبِرَنِي أَنّهُ مَسْمُومٌ

Artinya, “Sungguh, daging ini telah memberitahuku, ia sudah (dicampuri) dengan racun.” (Syekh Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafatir Rasyidah, [Bairut, Darul Fikr, Cetakan keempat: 2019], halaman 262).

Itu merupakan suatu keajaiban dari Rasulullah. Bahkan hewan yang sudah mati dan dimasak sekalipun memberikan pemberitahuan kepadanya bahwa daging yang akan dimakan telah dicampur dengan racun. Tentu saja, hal ini merupakan bukti dari penjagaan langsung Allah terhadap Rasul-Nya. Syekh ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, yang juga dikenal sebagai Syekh al-Khazin (wafat 741 H), menyatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah memanggil Zainab dan menanyakan seluruh perbuatan jahat yang dilakukannya. Wanita Yahudi tersebut mengakui perbuatannya, dan Rasulullah bertanya, "Mengapa kau melakukan ini?" Zainab menjawab,

قَالَتْ بَلَغْت مِنْ قَوْمِي مَا لَمْ يَخَفْ عَلَيْك. فَقُلْت: إنْ كَانَ مَلَكًا اسْتَرَحَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ نَبِيّا فَسَيُخْبَرُ

Artinya, “(Zainab) berkata, 'Telah sampai dari kaumku segala hal tentang dirimu. Maka, aku berkata kepada mereka, 'Jika memang dia (Rasulullah) seorang raja, dia pasti mati (dengan makanan yang beracun) itu. Namun, jika memang ia benar seorang nabi, dia pasti akan diberi tahu.'” (Syekh al-Khazin, Tafsir Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, [Bairut, Darul Fikr, cetakan pertama: 1992, tahqiq: Syekh Muhammad ‘Ali], juz VI, halaman 201).

Setelah Zainab mengakui segala perbuatannya yang sangat berbahaya, Rasulullah memberikan pengampunan padanya, meskipun perbuatan itu menyebabkan Basyar bin Barra tewas karena telah menelan daging domba beracun yang disiapkannya. Meskipun demikian, keputusan Rasulullah mengandung hikmah yang luar biasa, bahkan melebihi pemahaman satu sahabat pun. Pasca insiden tersebut, wanita yang menyusun racun tersebut langsung memeluk Islam di hadapan Rasulullah. Menurut kitab Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, keputusan Rasulullah pada saat itu menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama sejarah mengenai nasib Zainab yang baru masuk Islam setelah peristiwa tersebut. Apakah Zainab harus dihukum mati sebagai qishash atas kematian Basyar, ataukah ia diampuni tanpa mendapat hukuman mati.

Ibnu Sa’d menyatakan bahwa Rasulullah menyerahkan Zainab kepada keluarga Basyar, dan mereka menjatuhkan hukuman mati kepada perempuan itu. Namun, pendapat yang dianggap lebih sahih, seperti yang disampaikan oleh Imam Muslim, adalah bahwa Rasulullah berbicara kepada Zainab, “Allah tidak akan memberikanmu kekuatan untuk membunuhku.” Ketika para sahabat bertanya, “Haruskah kami menghukum mati perempuan ini, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” (Al-Mubarakfuri, ar-Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf, Qatar: 2007], halaman 364).

Hikmah di Balik Upaya Pembunuhan Rasulullah melalui Racun, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam bukunya tentang sirah, mencakup suatu keajaiban yang sangat signifikan. Kejadian ini membawa hikmah luar biasa, yaitu terjadinya peristiwa wahyu yang memberitahu Rasulullah tentang adanya racun dalam daging domba yang akan beliau konsumsi. Namun, dengan ketetapan yang telah Allah tetapkan, Basyar bin Barra malah lebih dulu menelan daging beracun tersebut sebelum Rasulullah sempat memberitahu bahwa makanan mereka telah dicampur racun. Akibatnya, Basyar meninggal karena racun tersebut.

Al-Buthi menyatakan bahwa peristiwa ini memberikan pemahaman dan keyakinan yang mendalam mengenai kekuatan penjagaan Allah terhadap nabi dan rasul-Nya dari upaya jahat dan tipu daya orang-orang yang berusaha mencelakakannya. Kejadian ini menjadi bukti konkret dari kebenaran ayat Al-Qur'an yang menyatakan:

وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ 

Artinya, “Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Surat Al-Ma’idah).

Namun, sebagaimana telah diungkapkan, ulama sejarah memiliki perbedaan pandangan mengenai apakah perempuan Yahudi yang meracuni Rasulullah seharusnya dihukum qishash atau tidak. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wanita tersebut tidak seharusnya dikenai hukuman qishash, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Menurut Al-Buthi, jika merujuk pada pandangan mayoritas ulama, dapat dikatakan dengan tepat bahwa hukuman qishash tidak berlaku baginya. Hal ini karena ada sebuah prinsip yang disetujui oleh mayoritas ulama, yaitu:

الإِسْلاَمَ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ، وَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ التِي ارْتَكَبُوهَا مِنْ قَبْلُ

Artinya, “(Masuk) Islam itu menghapus semua dosa sebelumnya. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa yang dilakukan mereka sebelum masuk Islam.” (Al-Buthi, 2019: 263).

Dari prinsip di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukuman qishash hanya dikenakan pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah memeluk agama Islam. Jika pelaku pembunuhan tersebut adalah seorang non-Muslim, hal itu dianggap sebagai tindakan hirabah (penyerangan). Adapun sanksi atas tindakan penyerangan tersebut, seperti yang diketahui, dapat terhapus dengan sendirinya jika pelakunya memeluk agama Islam.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Begini Nasib Perempuan Yahudi yang Meracuni Makanan Nabi"

Posting Komentar