Mengintip Isi Surat Cinta R.A Kartini - Berbagi Ilmu

Berbagi Ilmu

Saat Razia HP Siswi di Kelas Tanpa Sengaja Menemukan...

Saat Razia HP Siswi di Kelas Tanpa Sengaja Menemukan...
Wooow...

Mengintip Isi Surat Cinta R.A Kartini

Kecintaannya kepada bangsa dan mimpinya membawa bangsa Indonesia keluar dari kegelapan menuju cahaya terang benderang dituangkannya dalam bentuk surat yang beliau kirim untuk sahabat-sahabat penanya. Apa Isi surat cintanya? Mari kita intip bersama-sama!

Tak banyak orang memahami esensi perjuangan Raden Ajeng Kartini. Peringatan hari kartini lebih banyak diperingati hanya sekedar merepresentasikan penampilan luar R.A Kartini. Tidak aneh jika setiap tahun, banyak yang memperingati Hari Kartini hanya dengan perlombaan peragaan busana, lenggak-lenggok di atas panggung dengan kebaya dan konde. Jarang sekali peringatan Hari Kartini diisi dengan kegiatan yang mewakili pemikiran dan esensi perjuangan R.A Kartini. Jangan-jangan justru kita tidak tahu apa sebenarnya isi perjuangan yang disuarakan oleh R.A Kartini.

Selama ini kita hanya sebatas mengenal judul buku “ Habis Gelap Terbitlah Terang” (“Door Duisternis Toot Licht.”) yang merupakan himpunan surat-surat Cinta Kartini kepada sahabat penanya di negeri Belanda yang diterjemahkan oleh Armyn Pane. Tapi, sekali lagi tak banyak yang pernah membaca dan memahami isi curahan hati R.A Kartini.

Lalu apa sebenarnya yang diperjuangkan R.A Kartini melaui surat-suratnya? Perjuangan R.A Kartini tidak hanya sekedar memperjuangkan emansipasi wanita. Tapi lebih dari itu, isi surat-suratnya mencerminkan perjuangannya melawan imperalisme Belanda serta memperjuangkan hak bangsa Indonesia untuk memperoleh kemandirian.  Berikut ini saya sajikan beberapa makna tersirat dari kutipan surat beliau yang ditujukan untuk sahabat penanya 
1.         Pentingnya Pendidikan
"Hukum dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka," begitulah isi surat Kartini.

Perhatikan juga Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901

“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

Cita-cita RA Kartini sebenarnya menuntut kebebasan bangsanya dalam hal keterbukaan informasi dan pendidikan yang telah dikekang pemerintah Hindia Belanda.  Bukan tanpa alasan pembatasan gerak para wanita dalam pendidikan merupakan salah satu strategi Belanda membodohkan bangsa Indonesia.  Padahal wanita adalah guru pertama dan mengambil peran penting dalam pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian secara praktis terjadi pembodohan tunas-tunas bangsa yang nantinya berpotensi  menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda.
2.         Pentingnya pemahaman dari sekedar pengetahuan
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis:

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

Sekilas kita memahami isi surat ini sebagai pemberontakan Kartini kepada agamanya. Padahal jika kita kaji lebih dalam, surat ini ditujukkan untuk melawan penjajah Belanda. Perlu diketahui bahwa saat itu pemerintah Belanda melarang keras segala bentuk penerjemahan Al-Quran dalam bahasa jawa karena akan membangkitkan jiwa perlawanan mereka terhadap penjajah.

Pemikiran beliau inilah yang kemudian menginspirasi gurunya Kyai Shaleh Darat untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa jawa, walaupun dengan tulisan huruf arab pegon (gundul) yg tidak dikuasai Belanda. Tujuannya  untuk menyamarkan dari kecurigaan Belanda.

Terjemahan ini baru sampai Surat Ibrahim karena Mbah Sholeh keburu wafat. Kitab tafsir dan terjemahan Quran ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”
3.         Emansipasi yang tidak Kebablasan
Perjuangan Kartini dilatarbelakangi kehidupan para wanita pada zamannya yang pada umumnya hanya menjalankan kehidupan sebagai ibu rumah tangga.  Apa yang dikerjakan ibu rumah tangga pada waktu itu juga terbatas pada tugas menjalankan fungsi sebagai istri, mengasuh anak, mengurus dapur, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Kartini melihat para wanita pada waktu itu tidak memiliki hak dan kebebasan yang sama dengan kaum lelaki untuk mengenyam pendidikan tinggi.  Dalam kondisi seperti itu Kartini juga melihat adanya kesenjangan intelektual di antara suami istri dalam hal pendidikan.  Padahal untuk bisa membentuk keluarga yang baik, terutama dalam mendidik anak, selain diperlukan seorang ayah yang berpendidikan tinggi, juga diperlukan seorang  ibu yang  juga berpendidikan tinggi.

Arah perjuangan Kartini adalah memajukan kaum wanita yang dimulai dari pendidikan.  Kartini tidak pernah menganggap pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang lebih rendah daripada pekerjaan yang dilakukan oleh kaum lelaki.
Cermati Surat kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.

Emansipasi yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar wanita mendapatkan hak  untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggitingginya. Agar wanita juga diakui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan agar wanita tidak merendahkan dan direndahkan derajatnya di mata pria. Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa wanita menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan wanita memliki kelebihannya masing- masing.
4.         Penolakkannya terhadap imperialisme dan Budaya Barat
Cobalah perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon:

“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”

Sungguh sebuah ungkapan berani dari seorang wanita Indonesia yang negaranya sedang dijajah. Pantaskah kiranya penjajahan disebut sebuah peradaban? Itu mungkin kira-kira isi yang tersirat dari suratnya. Sebuah bentuk protes beliau kepada Belanda atas semua penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia akibat penjajahan mereka.
5.         Bangga Menjadi Umat Islam
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis:

“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”

Sebuah tekad yang mengandung perlawanan terhadap pandangan pemeluk agama lain terhadap agama Islam. Islam dianggap sebagai agama yang melegalkan kekerasan. Islam adalah agama yang tidak menghormati hak-hak asasi manusia. Tapi benarkah? Tanyakan pada dunia siapa sebenarnya yang lebih pantas mendapatkan citra seperti itu.  Kartini paham betul akan hal itu.
Makna lain yang terkandung dari tulisan beliau adalah upaya membangkitkan umat islam agar bangga menjadi umat islam dan berusaha menjadi sebenar-benarnya umat islam.
6.         Ikhlas Berjuang
Perhatikan  surat yang beliau kirim ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis:
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”

Bukan gelar pahlawan yang beliau idam-idamkan. Bukan pula penghargaan setinggi-tingginya dari negara untuk perjuangannya. Tapi lihatlah gelar yang beliau idam-idamkan adalah gelar tertinggi sebagai Hamba Allah.

Sebuah makna yang begitu mendalam. Hamba Allah sejatinya adalah bentuk pengesaan Allah. Cerminan mengesakan Allah adalah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam bentuk keikhlasan. Allah SWT telah mengingatkan Kartini dalam firman-Nya
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah [98] : 5)
Resapilah makna Surat kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902 berikut ini
“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.
Atas dasar inilah kemudian semua bentuk pengorbanan, perjuangan dan pengabdiannya ia landasi dengan keikhlasan. Hal ini dapat terlihat dalam isi  Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901

“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.

Demikian sebagian isi surat cinta R.A Kartini. Cinta tulusnya terhadap Bangsa dan Agamanya mengharuskan kita memberikan penghargaan sebesar-besarnya. Bukan gelar pahlawan yang beliau inginkan. Bukan pula sanjungan yang beliau harapkan. Sekali lagi gelar tertinggi yang beliau impikan sebagai hamba Allah, sejatinya menjadi bekal dan pondasi bagi kita untuk terus berjuang, berkorban, dan mengabdi untuk bangsa dan Agama.
Sumber:

http://www.asliindonesia.net/2015/04/10-kutipan-surat-ra-kartini-yang.html
http://www.kompasiana.com/ade_darma/misteri-habis-gelap-terbitlah-terang-ra-kartini_55291857f17e61a9378b458f
http//www.tokohindonesia.com
http://sundarisri68.blogspot.co.id/

Silahkan Baca Juga Artikel Berikut!

Kartini Doeloe Kini dan Nanti
Guru yang Dirindukan
Setan Lebih Hebat Daripada Kiyai
From Zero to One Thousand

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengintip Isi Surat Cinta R.A Kartini "

Posting Komentar